JURNAL SAINTIFIKA UNIVERSITAS GADJAH MADA

Tulisan ini merupakan refleksi atas pembacaan resiko politik separtisme Aceh yang kami anggap sebagai sesuatu yang laten. Gagasan/ ide ini dilatar belakangi oleh penuturan atas pesimisme kebangsaan dan krisis kredibilitas dan integritas terhadap pemerintah nasional yang diunakapkan oleh sebagian int...

全面介紹

Saved in:
書目詳細資料
主要作者: Direktorat, Kemahasiswaan
格式: Article PeerReviewed
語言:English
出版: Direktorat Kemahasiswaan UGM 2013
主題:
在線閱讀:https://repository.ugm.ac.id/136586/1/2016_2013_jurnal_saintifika_jnl.pdf
https://repository.ugm.ac.id/136586/
標簽: 添加標簽
沒有標簽, 成為第一個標記此記錄!
實物特徵
總結:Tulisan ini merupakan refleksi atas pembacaan resiko politik separtisme Aceh yang kami anggap sebagai sesuatu yang laten. Gagasan/ ide ini dilatar belakangi oleh penuturan atas pesimisme kebangsaan dan krisis kredibilitas dan integritas terhadap pemerintah nasional yang diunakapkan oleh sebagian intelektual Aceh. Kami menganggap hal ini sebagai sebuah cerminan kondisi masyarakat Aceh dalam dinamika sosial politik yang membingkai pemakanaan mereka atas bangsa Indonesia yang terbayang. Atas dasar itulah, urgensi untuk mengkaji ulang desain managemen resiko menjadi sangat mungkin untuk ditawarkan. Pada bagian gagasan dijelaskan bahwa desain managemen resiko politik yang kamu tawarkan adalah melalui aktivasi tiga tungku dalam struktur sosial masyarakat Aceh, yaitu Ulama-Adat-Masyarakat. Aktivasi ketiga elemen ini akan menghasilkan sinergitas dalam tata kelola pemerintah sekaligus ruang deliberatif untuk menegosiasikan beragam kepentingan yang ada. Masing-masing elemen akan membentuk jejaring dan ruang negosiasi bagi penyelesaian resiko laten separatisme Aceh. Pihak-pihak yang berkepentingan dari gagasan ini dianataranya Ulama-Adat-Masyarakat, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Aceh. Pada bagian akhir disimpulkan bahwa ide Aktivasi Tiga Tungku (Ulama-Adat-Masyarakat) akan menjadi desain managemen resiko yang tepat dan kontekstual dengan realitas sosial yang ada serta dinamika politik di Aceh. Gagasan Aktivasi Tiga Tungku ini pada akhirnya diharapkan mampu menjadi ruang dialogis yang mampu menegosiasikan beragam kepentingan baik secara vertikal maupun horisontal sekaligus membingkai pemahaman bersama mengenai persoalan kebangsaan di Indonesia padahal telah adanya MOU perdamaian dan pemberian Otonomi Khusus serta pemberian desain manajemen resiko untuk mengatasi permasalahan separatisme yang sangat membahayakan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tulisan ini sedari awal diniatkan untuk menjawab kegelisahan laten, mengapa semangat separatisme Aceh pasca MoU masih tetap ada? Selain itu, tawaran konkrit mengenai solusi yang dapat diterapkan dalam kerangka pikir Political Risk Management juga akan menjadi bagian dari tulisan ini. Namun sebelumnya, perlu dijelaskan konsep Political Risk Management untuk memberi kerangka yang memadai mengenai kasus ini yang kemudian dirangkai dengan konteks historis munculnya separatisme di Aceh. Temuan kami di lapangan menunjukkan bahwa resiko dinamis dalam tata kelola sektor publik di Aceh masih ada dalam persepsi dan pesimisme sebagian masyarakat Aceh tentang ke-Indonesia-an dan separatisme Aceh.